Selasa, 12 November 2019

Kelas 6 D dan B

Muhammad Diangkat Menjadi Rasul.

Ketika Muhammad memasuki usia 40 tahun; 15 tahun dari perkawinannya dengan Khadijah; beliau sering menyendiri/’uzlah dari khalayak ramai, dengan tujuan untuk menenangkan pikiran, membersihkan hati dan jiwa, dan diharapkan dan pengasingannya itu beliau mendapatkan kebenaran yang hakiki.

                Tempat yang dijadikan khalwat (pengasingan dan menyendiri) oleh Muhammad ialah gua Hira’Gua Hira’ ini terletak kira-kira 6 Km sebelah utara kota Mekkah; tingginya kira-kira 200 meter.

                Dalam khalwatnya itu Muhammad meninggalkan istri tercintanya Khadijah, kadang-kadang 10 sampai 20 hari, dengan dibekali oleh isti tercintanya yang cukup. Ketika persediaan makanan sudah habis barulah beliau pulang ke kota Mekkah untuk bertemu dengan keluarga dan kaumnya.

                Khalwat dan penyendirian Muhammad ke gua Hira’ ini bukannya untuk mencari nomer atau wangsit; akan tetapi untuk mencari kebenaran yang hakiki, untuk memantapkan hati; dan tentunya khalwatnya Rasulullah ke gua Hira’ ini dituntun oleh Allah, dalam rangka untuk menerima wahyu/risalah kerasulan dan kenabiannya.

                Selang beberapa bulan dan khalwatnya/’uzlahflYa Muhammad ke gua Hita’, yang tepatnya dalam usia 40 tahun, 7 bulan dan 8 hari menurut perhitungan tahun Qomariyah, Muhammad telah diutus oleh Allah swt. menjadi Rasulullah (utusan Allah), dengan menenima wahyu pertama melalui perantaraan Malaikat Jibril di gua Hira’.

                Peristiwa penerimaan wahyu sekaligus pengangkatannya sebagai nabi terjadi pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 dan hari kelahiran Muhammad, atau bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 Miladiyah.

                Pada malam tanggal peristiwa itu, Muhammad sedang khusyuk melakukan ibadah di gua Hira’, tiba-tiba Malaikat Jibril menghampiri Muhammad (yang selama ini Muhammad belum mengenal Malaikat Jibril) seraya berkata:
                “Bergembiralah, wahai Muhammad! Saya ini adalah Jibril, dan engkau adalah utusan Allah kepada umat ini, engkau adalah penyapai kabar gembira, penyampai ancaman, pengajak kepada kebenaran dengan perintah Allah dan sebagai lampu yang menerangi.”

                Sebelum diturunkannya wahyu yang pertama itu, didahului dengan impian yang benar. Jadi sebelum wahyu pertama itu turun, Muhammad sering bermimpi maksudnya mimpi yang berkenaan dengan pengangkatan dirinya sebagai nabi/nasul Allah.

                Selanjutnya malaikat Jibril membentangkan di hadapan Muhammad selembar kain sutra, dan disuruhnya untuk membaca tulisan yang ada dalam kain sutra itu. Tapi Muhammad menjawab: Aku tidak bisa baca dan menulis. Perintah malaikat Jibril menyuruh Muhammad untuk membaca tulisan tersebut sampai tiga kali, dan jawaban yang dilontarkan oleh Muhammad adalah: Saya tidak bisa membaca!

                Akhirnya malaikat jibril merangkul/memeluk tubuh Muhammad dengan sekerasnya, sehingga nafasnya tersendat-sendat, dan diajarkannya membaca tulisan tensebut. Maka akhirnya Muhammad bisa membaca tulisan yang ada dalam kain sutra tersebut.

                Tulisan yang ada dalam kain sutra tadi adalah firman Allah dalam surat Al-’Alaq ayatl-5.
                “Bacalah (hai Muhammad) dengan nama Tuhanmu. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu itu Maha Pemurah. Yang rnengajarkan dengan pena (tulis menulis). Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya.”

Jadi ayat 1-5 dan surat Al-’Alaq itulah wahyu pertama yang diturunkan kepada Muhammad sebagai utusan Allah kepada umatnya. Dan dengan demikianlah resmilah Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi seorang nabi dan utusan Allah dengan membawa missi Islam untuk disebarkan kepada kaumnya dan seluruh umat manusia.



                Sesudah malaikat mengajarkan Jibril untuk membaca tulisan itu, dan Muhammad menirukannya dengan lancar, maka malaikat Jibril menghilang dari hadapan Muhammad.

                Dengan hati yang berdebar- debar, diliputi oleh perasaan takut dan cemas, maka pulanglah Muhammad meninggalkan gua Hira’ menuju kota Mekkah. Sesampainya di rumah istrinya Khadijah, maka Muhammad minta diselimuti karena menggigil kedinginan. Maka diselimutilah tubuh Muhammad yang menggigil kedinginan dan pucat mukanya itu oleh Khadijah. Dan tidak lama kemudian tertidurlah Muhammad dengan nyenyak.

                Khadijah yang diliputi perasaan cernas melihat suaminya (Muhammad) sehabis dari gua Hira’ itu, pergi ke rumah seorang pendeta Nasrani yang pandai dengan kitab Suci Taurat dan Injil yang bernama Waraqah bin Nufail untuk minta saran dan pendapatnya tentang keadaan suaminya (Muhammad). Waraqah bin Nufail itu masih ada hubungan famili dengan Khadijah, yaitu anak laki-laki dari pamannya Khadijah.

                Setelah mendengarkan cerita Khadijah mengenai keadaan diri Muhammad suaminya itu, secara spontan Waraqah bin Nufail berkata:
                “Quddus! Quddus! (Suci-suci), Demi Tuhan yang diri Waraqah berada dalam kekuasaan-Nya, jika engkau mempercayai aku, hai Khadijah, sesungguhnya telah datang kepada suami engkau itu Namus Akbar (rahasia yang paling besar), yang pernah juga datang kepada Nabi Musa dahulu kala. Sesungguhnya ia (Muhammad) adalah seorang nabi buat umat ini. Katakanlah kepadanya supaya hatinya tenang.”

                Sesampai di rumah, Khadijah menceritakan ucapan dan kata-kata Waraqah bin Nufail itu kepada suaminya (Muhammad). Dan untuk menguatkan kata-kata Khadijah itu, maka diajaklah Muhammad menemui Waraqah bin Nufail untuk mendapat keterangan langsung darinya.

                Maka Muhammad menceritakan peristiwa yang terjadi pada dirinya kepada Waraqah dengan selengkap-lengkapnya; maka dengan spontan pula Waraqah bin Nufail berkata:
                “Suci! Suci hai putra saudaraku (Muhammad), ini adalah rahasia yang paling besar, yang telah pernah diturunkan kepada Nabi Musa. Kalau sekiranya aku masih segar, kuat dan masih hidup, ketika kelak kaummu mengusir engkau (aku akan pasti membelamu) .“

                Mendengar ucapan Waraqah bin Nufail, maka Muhammad bertanya: “Apakah kaumku kelak akan mengusirku?” Waraqah bin Nufail menjawab: “Memang, sama sekali tidak ada seseorang yang datang dengan membawa seperti yang engkau bawa itu, melainkan ia akan dimusuhi. Dan jika aku masih sempat mengalami hari itu, maka aku akan memberikan pertolongan yang sekuat-kuatnya kepada engkau.”


Akidah Akhlak.
Menahan Marah.
Rasulullah bersabda, “Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu meluapkannya maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki. (HR Abu Daud, Tirmizi, dihasankan oleh al-Albani).
Siapa yang tidak bangga ketika dia dipanggil Allah di hadapan semua makhluk pada hari kiamat untuk menerima balasan yang besar? Semua manusia dan jin menyaksikan orang ini maju di hadapan mereka untuk menerima pahala yang besar dari Allah SWT.
Betapa besar ganjaran yang diberikan Allah di akhirat nanti hanya dengan menahan emosi dan tidak melampiaskan marahnya. Apalagi, seseorang yang tidak hanya sanggup menahan amarahnya, tetapi juga bisa memaafkan kesalahan orang yang sudah zalim kepadanya serta membalasnya dengan kebaikan pula.
Mula Ali Qori dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi mengatakan, pujian yang indah dalam hadis tersebut merupakan balasan yang besar hanya karena sebatas menahan emosi. Bagaimana jika ditambahkan dengan sikap memaafkan atau bahkan membalasnya dengan kebaikan.
Jadi, ketika seorang Muslim hendak marah, ingatlah dengan fadilat (keutamaan) yang disampaikan Rasulullah SAW dalam hadisnya tersebut. Betapa besar ganjaran bagi seorang yang berhasil menahan marah.

Hal ini memang cukup sulit. Umumnya, seorang yang marah diliputi emosi yang menutup akalnya untuk berpikir. Sehingga, seorang yang marah lupa dengan tuntunan yang diajarkan Rasulullah SAW untuk mengendalikan amarahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Haji dan umroh